Latar Belakang Perang Padri
Perang Padri, yang berlangsung di wilayah Minangkabau pada awal abad ke-19, di picu oleh perbedaan pandangan yang tajam antara kaum adat dan kaum Padri mengenai praktik keagamaan dan adat istiadat. Kaum Padri, yang di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, beraspirasi untuk menerapkan syariat Islam secara ketat. Mereka memandang bahwa banyak kebiasaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam murni. Di sisi lain, kaum adat berupaya mempertahankan tradisi dan kebiasaan lokal yang telah lama mengakar di masyarakat Minangkabau. Konfrontasi antara kedua kelompok ini menciptakan ketegangan yang kian memuncak. Perang Padri di ketahui terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1803-1838.
Kaum Padri terinspirasi oleh gerakan Wahhabisme yang berkembang di Timur Tengah dan berusaha menghapus praktik-praktik yang mereka anggap bid’ah atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Mereka menentang kebiasaan seperti perjudian, minum minuman keras, dan berbagai upacara adat yang mereka anggap tidak Islami. Sebaliknya, kaum adat yang di pimpin oleh para penguasa lokal dan tokoh masyarakat, merasa bahwa tradisi dan adat istiadat adalah bagian integral dari identitas mereka yang tidak bisa di hilangkan begitu saja.
Setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam, meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah.
Pada tahun 1821, intervensi Belanda mulai mengubah dinamika perang. Belanda mendukung kaum adat dalam upaya untuk menguasai wilayah Minangkabau dan mengamankan kepentingan kolonial mereka. Hal ini menyebabkan eskalasi konflik, dengan Belanda memperkenalkan strategi militer modern dan taktik perang yang lebih terorganisir.
Dampak dari Perang Padri sangat signifikan bagi masyarakat Minangkabau. Dalam jangka pendek, perang ini mengakibatkan kerugian besar baik dalam hal korban jiwa maupun material. Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda.