Perang Bubat: Tragedi di Balik Ambisi Majapahit

Perang Bubat adalah salah satu peristiwa sejarah paling tragis dalam sejarah Nusantara. Terjadi pada abad ke-14, perang ini tidak hanya menorehkan luka mendalam pada hubungan politik antara Majapahit dan Kerajaan Sunda, tetapi juga menjadi simbol dari ambisi kekuasaan yang berakhir dengan tragedi.

Latar Belakang Perang Bubat

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), Majapahit berada di puncak kejayaannya. Raja muda yang bijaksana ini berambisi untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji Majapahit, sesuai dengan konsep “Wilwatikta”. Untuk memperkuat hubungan politik, Hayam Wuruk berniat menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi, putri cantik dari Kerajaan Sunda.

Keinginan ini di terima dengan baik oleh Kerajaan Sunda, yang melihat pernikahan sebagai jalan menuju perdamaian dan persatuan. Raja Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana, bersama keluarganya dan rombongan besar, membawa Dyah Pitaloka ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan. Namun, apa yang di mulai sebagai prosesi pernikahan berubah menjadi tragedi yang memilukan.

Perselisihan di Lapangan Bubat

Ketika rombongan Kerajaan Sunda tiba di Majapahit, Gajah Mada, mahapatih yang di kenal karena ambisi dan dedikasinya terhadap Sumpah Palapa, memiliki pandangan berbeda. Ia menganggap pernikahan ini sebagai simbol penyerahan Kerajaan Sunda kepada Majapahit, bukan sebagai hubungan kesetaraan. Oleh karena itu, Gajah Mada menuntut agar Dyah Pitaloka di serahkan sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas supremasi Majapahit.

Tuntutan ini di anggap penghinaan oleh pihak Kerajaan Sunda. Prabu Linggabuana menolak keras tuntutan tersebut, melihatnya sebagai pelecehan terhadap martabat kerajaannya. Ketegangan memuncak, dan akhirnya terjadi pertempuran sengit di Lapangan Bubat. Dalam pertempuran ini, rombongan Kerajaan Sunda, termasuk Prabu Linggabuana, tewas dengan gagah berani. Dyah Pitaloka, dalam upaya mempertahankan kehormatannya, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bela pati (bunuh diri).

Dampak Perang Bubat

Tragedi ini meninggalkan luka mendalam yang berdampak jauh melampaui era Majapahit. Hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit menjadi renggang, bahkan memburuk. Perang Bubat juga meninggalkan jejak psikologis dalam kebudayaan Sunda, dengan munculnya cerita dan tradisi lisan yang menggambarkan peristiwa ini sebagai simbol pengkhianatan dan ketidakadilan.

Secara politis, Perang Bubat mencerminkan bagaimana ambisi kekuasaan dapat menjadi bumerang. Meskipun Majapahit berhasil mencapai puncak kejayaan, peristiwa ini menunjukkan sisi gelap dari politik ekspansi yang sering kali mengorbankan hubungan antarbangsa dan martabat manusia.

Refleksi dari Perang Bubat

Perang Bubat bukan hanya kisah tentang pertumpahan darah, tetapi juga pelajaran tentang pentingnya komunikasi, penghormatan, dan diplomasi dalam hubungan politik. Andai saja kedua pihak mampu mengatasi perbedaan dengan kepala dingin, tragedi ini mungkin bisa di hindari.

Bagi kita yang hidup di masa kini, Perang Bubat mengingatkan bahwa ambisi yang tak terkendali, meskipun di balut dengan niat mulia, dapat berakhir dengan kehancuran. Sejarah ini menjadi cerminan bahwa persatuan sejati hanya dapat di capai melalui pengertian, kesetaraan, dan penghormatan terhadap keberagaman.